Selasa, 02 Juni 2015

review film

REVIEW : DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH


"Sampai kapanpun, emas takkan setara dengan loyang dan sutra tak sebangsa dengan kapas." - Emak

Seandainya saja product placement (iklan dalam film) tidak berseliweran kesana kemari. Seandainya saja tidak ada dubbing yang menggelikan. Seandainya saja subtitle Inggris yang disisipkan tidak ngawur dan menggunakan susunan gramatikal yang baik. Seandainya saja aksentuasi para tokoh patuh pada setting tempat. Seandainya saja tulisan 'based on Buya Hamka's novel' pada poster dihilangkan dan diganti menjadi 'adaptasi bebas'. Seandainya saja tidak ada sesumbar yang mengatakan bahwa Di Bawah Lindungan Ka'bah diberi kucuran dana raksasa sebesar Rp 25 Miliar dan digadang-gadang sebagai 'Titanic versi Indonesia'. Di Bawah Lindungan Ka'bah mungkin saja menjadi film yang memuaskan banyak kalangan. Seperti yang diucapkan Emak (Yenny Rachman) kepada Hamid (Herjunot Ali), "makin tinggi harapan, makin sakit jatuhnya." Dengan janji-janji manis yang ditawarkan, tentu tidak mengherankan jika kemudian penonton berharap banyak terhadap karya terbaru Hanny R. Saputra ini. Apalagi versi novelnya merupakan salah satu karya sastra lokal terbaik dari salah satu sastrawan terbaik dalam angkatan pujangga Balai Pustaka. Ekspektasi pun membuncah.

Pada tahun 1981, Asrul Sani telah mengadaptasi bebas novel Di Bawah Lindungan Ka'bah menjadi sebuah film berjudul Para Perintis Kemerdekaan. Alih-alih memilih untuk setia 100% pada novel Hamka tersebut, film justru dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah tanpa menghilangkan esensi dari cerita. Misi Asrul Sani berjalan sukses dan dihadiahi banyak puja puji dari berbagai kalangan. Hanny R. Saputra tidak mengikuti jejak Asrul Sani dan tetap teguh pada ciri khasnya. Dibantu oleh dua penulis skenario langganannya, Armantono dan Titien Wattimena, Di Bawah Lindungan Ka'bah menjelma menjadi sebuah film metal alias mellow total. Sepanjang durasi film, saya mencatat hanya ada satu adegan Hamid dan Zainab (Laudya Cynthia Bella) yang tak melibatkan air mata, yakni ketika mereka saling sapa dari balik pagar kayu. Sialnya, adegan yang seharusnya bisa manis itu tercoreng lantaran durasinya yang kelewat lama dan dubbing yang sangat kasar. Saya pun langsung mual dibuatnya.


Menerjemahkan sebuah novel dengan halaman yang tipis (konon, novel Hamka ini hanya setebal 66 halaman) ke dalam layar lebar sama susahnya dengan mengejewantahkan tulisan beratus-ratus halaman. Untuk mengakalinya, Armantono dan Titien pun menambahkan sejumlah konflik yang tidak ditemukan dalam novel. Konflik yang sangat dramatis, menghadirkan kenyataan hidup yang pahit. Bagaimanapun juga, Hamid dan Zainab tidak akan pernah bisa disatukan. Plot kreasi duo penulis naskah ini diyakini mampu menguras air mata penonton. Tak peduli sekonyol apapun pengarahan Hanny R. Saputra dan bagaimana logika penonton tersakiti, air mata penonton perempuan akan tetap tumpah. Bukan bermaksud genderisasi, namun seperti inilah kenyataannya. Saya menyaksikannya sendiri.

sumber http://cinetariz.blogspot.com/2011/08/review-di-bawah-lindungan-kabah.html:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2009 Secarik Kertas All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.