Selasa, 29 Maret 2016

Si Kaki Tiga

kali ini kita akan mempelajari lebih lanjut tentang blogging .. yakni tentang menggunakan link.
bagaimana cara menge link....
faridhy mohammed dont forget to like and comment....

Selasa, 22 Maret 2016

JAKARTA – Menikmati pendidikan bermutu tentu menjadi dambaan setiap pelajar, termasuk bagi orangtua siswa. Sayangnya, tak semua fasilitas pendukung pendidikan di setiap sekolah sama. Ada yang fasilitasnya sangat lengkap, namun tak sedikit sekolah yang baik dari segi bangunan maupun infrastrukturnya belum memadai.
Sudah menjadi rahasia umum bila sekolah dengan berbagai fasilitas biasanya mematok sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang mahal. Hal tersebut membuat siswa yang sekolah di sana berasal dari kalangan menengah ke atas. Atas fenomena tersebut, seorang orangtua siswa SMA di Kota Bogor, Wulan, menceritakan, tak menampik jika biaya sekolah saat ini semakin mahal. Namun, demi memperoleh pendidikan berkualitas bagi anaknya, dia pun rela merogoh kocek lebih dalam, termasuk untuk menunjang segala kebutuhan sekolah anaknya.
"Sama-sama sekolah negeri, dulu waktu kakaknya masih Rp150 ribu per bulan, sekarang sekira empat tahun kemudian sudah Rp340 ribu per bulan. Buat saya sebenarnya cukup mahal, tapi ternyata banyak yang lebih mahal," tuturnya saat berbincang dengan Okezone, belum lama ini.
Ibu dua anak ini mengungkapkan, biaya bulanan tersebut belum termasuk kebutuhan sekolah lainnya, seperti fotokopi bahan pelajaran, prakarya, dan lain sebagainya. Menurutnya, pihak sekolah juga tak merincikan untuk apa saja uang tersebut, namun dia sendiri tak terlalu ambil pusing dan hanya mengikuti aturan main sekolah.
"Yang saya tahu untuk biaya komputer, kemudian tabungan perpisahan. Seandainya ada fasilitas di kelas itu AC dan Wifi," ucapnya.
Biaya sekolah mahal, tutur Wulan, kadang kala juga menjadi ajang adu prestise di kalangan orangtua siswa. Kebanyakan orangtua berpikir semakin mahal sekolah, maka kualitas pendidikannya semakin baik. Belum lagi ditambah orangtua yang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke berbagai kursus atau bimbingan belajar.
"Kalau saya menganggap sekolah itu kualitasnya rata-rata hampir sama, apalagi kalau negeri. Semua tergantung anaknya pintar atau enggak di sekolah. Tapi ya sebagai orangtua tentu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk anak, baik dari segi bangunan, fasilitas, sampai akses sekolahnya dekat atau tidak dari rumah. Supaya anak juga nyaman," pungkasnya. (ira)
(rfa)
sumber : http://news.okezone.com/read/2016/03/15/65/1336669/sekolah-mahal-dan-prestise-orangtua
jurnalis : Iradhatie Wurinanda

Senin, 21 Maret 2016

JAKARTA - Masalah dalam dunia pendidikan tidak hanya soal kualitas. Hal lain yang juga perlu dicermati adalah kesenjangan gender.
Misalnya, pada jenjang Sekolah Dasar (SD), kebanyakan pelajar adalah laki-laki. Sementara di jenjang SMA justru lebih banyak yaitu pelajar perempuan.
Kepala Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri, Kemdikbud Suharti menuturkan, anak laki-laki mulai tidak menyukai sekolah. "Data menunjukkan, bukan hanya tidak senang pada sekolah, namun juga pada opportunity cost. Jadi anak laki-laki di jenjang lebih tinggi yang sudah bisa bekerja, lebih memilih bekerja. Hal itu karena ekonomi," ungkap Suharti di Kemdikbud, Jakarta, Rabu (16/3/2016).
Dia mengimbuhkan, anak-anak yang lahir dari keluarga kurang mampu biasanya didorong untuk bisa mencari nafkah daripada mengejar pendidikan setinggi-tingginya.
Sementara pada sisi pendidik, guru perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan guru laki-laki. Namun jumlah kepala sekolah perempuan justru masih sedikit.
"Sayangnya dari hasil UKG, performa guru perempuan jauh lebih rendah dari guru laki-laki. Performa guru perempuan terlihat baik pada awal usia 30-an. Namun di atas 30-an performa mereka akan menurun karena merasa sudah aman, sehingga keinginan untuk meningkatkan kualitas menurun," ujarnya.
Suharti juga menambahkan, fasilitas di lingkungan sekolah juga seharusnya memperhatikan gender. Misalnya, pada tangga sekolah, perlu diperhatikan seberapa tinggi tangga itu agar bisa dicapai oleh siswa perempuan.
"Lalu juga meja, dulu di depan meja itu diberi papan supaya anak laki-laki tidak iseng pada siswi yang menggunakan rok. Kemudian lemari buku, bagaimana lemari itu juga bisa dijangkau oleh siswi karena mereka jauh lebih pendek dari laki-laki," tambahnya.
(rfa)
sumber : http://news.okezone.com
jurnalis :Afriani Susanti

Copyright © 2009 Secarik Kertas All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.