IQ vs EQ
whose the Winner ?
whose the Winner ?
Mahasiswa pada era digital tentu berbeda dengan
mahasiswa lima atau sepuluh tahun yang lalu, dimana salah satu perbedaan
tersebut ialah perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Mahasiswa dituntut
untuk menguasai dan berinovasi seiring
perkembangan dua hal tadi, hingga dalam level tertentu dalam
penguasaannya seseoranga mendapatkan gelar sesuai dengan bidang penguasaan yang
mereka geluti.
Era ini memaksa mahasiswa untuk lebih efektif dalam
hal manajemen waktu yang berkaitan dengan etos kerja agar kegiatan yang dapat dilakukan dapat dikalkulasikan
kapan selesainya. Dampak dari itu semua, tumbuhlah seorang mahasiswa yang
tingkat IQ (Intelegence Question) yang mapan yang sangat dibutuhkan dunia
kerja. Namun pertanyaannya sekarang apakah itu semuanya cukup untuk hidup,
apakah dengan memiliki kemampuan IQ yang tinggi seseorang dapat dengan lenggang
meraih pekerjaan yang mereka sukai.
Tentu saja tidak semua. Masih ada
kemampuan yang mesti harus disadari dan
coba untuk diasah. Apa itu ?
salah satunya ialaha EQ (Emotional Question). Spiritual Question akan menyempurnakan IQ tinggi yang ada pada diri seorang ,mengendalikan diri terlebih sebagai nilai tambah seseorang ketika berada di bangku interview penerimaan pegawai dalam satu perusahaan.
salah satunya ialaha EQ (Emotional Question). Spiritual Question akan menyempurnakan IQ tinggi yang ada pada diri seorang ,mengendalikan diri terlebih sebagai nilai tambah seseorang ketika berada di bangku interview penerimaan pegawai dalam satu perusahaan.
Kendati demikian, jarang sekali
kampus negeri atau swasta yang memberikan tambahan pengetahuan tentang hal ini,
padahal hal itu penting untuk modal masa depan seorang mahasiswa. Menurut Stephen J. Stein dan Howard E. Book
dalam ESQ power (2006), “IQ hanya
berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20%, bahkan hanya 6%”.<sup><a href="#2">[1]</a></sup>
Dapat kita bayangkan betapa kecilnya
peran IQ dalam kehidupan, namun mendapat perhatian nomor satu dalam dunia
akademik. Berikut ini dari buku yang sama ada sebuah contoh menarik yang patut
kita simak berikut ini, ada dua orang eksekutif Indonesia diutus ke negara
Malaiysia oleh sebuah perusahaan pembuat pesawat terbang untuk menawarkan
kehormatan.
Kedua eksekutif itu diundang makan malah di
kediaman sang CEO. Setelah makan malam kedua eksekutif itu diajak untuk melihat-lihat
koleksi barang antiknya. Dengan bangga sang CEO menjelaskan satu persatu
koleksinya.
Eksekutif-eksekutif tersebut
mengikuti denga saksama setiap penjelasan yang diberikan oleh sang CEO. Saya tidak
tahu apakah seberanya mereka menyukai barang antik tersebut atau tidak, yang pasti mereka mengangguk-angguk mengiayakan
dengan air muka penuh kekaguman.
Akhirnya sang CEO, calon klien
pembeli pesawat terbang itu bertanya kepada salah seorangeksekutif Indonesia
tadi, (kebetulan yang ditanya adalah seorang sarjana S2 di bidang penerbangan).
Ia bertanya, “bagaimana menurut anda tentang koleksi saya itu ?”, sambil
tersenyum bangga. Eksekutif itu spontan menjawab, “menurut saya, koleksi barang
antik ini bagus-bagus, tetapi di Jalan Surabaya barang-barang seperti ini
sangat banyak dan murah, Tuan.” Anda mungkin bisa membayangkan situasi yang
terjadi pada saat “Lobbying”, akibat
perkataan eksekutif tadi.
Secara teknis pendapat itu benar,
bahwa barang antik memang banyak sekali dapat ditemukan di Jalan Surabaya
Jakarta dan harganya jauh lebih murah. Itulah yang disebut IQ. Namun secara
batiniah hal itu sungguh salah, alat untuk memahami hal ini disebut EQ.
Hasil dari kunjungan tersebut
adalah bahwa sang CEO merasa teresinggung dan batal membeli pesawart terbang
buatan dalam negeri tadi. Jadi, kecerdasan emosional adalah sebuah kemampuan
untuk “mendengarkan” bisikan emosi, dan menjadikannya sebagai sumber informasi
maha penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi mencapai sebuah
tujuan.
Dengan demikian, ada baiknya kita
mulai mengitrospeksi diri untuk mengetahui sudah sejauh mana tingkat nilai
Spiritual kita. Apakah kita termasuk orang yang peka terhadap lingkungan dan
sesama, apakah kita orang yang senang
berempati dan mudah dimintai tolong. Sadarilah semua ini, agar anda terlahir sebagai mahasiswa
yang ideal dengan kehidupan masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar